"Sampah Plastik Menjadi Tas Cantik"
“Trashion,
from waste to style”, adalah program yang dicanangkan Unilever Peduli
Foundation (UPF) untuk mengurangi dampak pencemaran kemasan plastik
terhadap lingkungan.
Sebagaimana kita ketahui, selain sampah organik yang kemudian umumnya dimanfaatkan sebagai kompos, ada juga sampah non organik alias sampah yang tidak dapat hancur, di antaranya limbah kemasan plastik. UPF bersama-sama dengan para kader binaannya mencoba mereduksi limbah plastik bekas kemasan produk Unilever dengan cara mengubahnya menjadi barang-barang kerajinan daur ulang bernilai ekonomis. Di antaranya seperti tas laptop, dompet untuk telepon seluler, korden kamar mandi, tas berwarna merah dari limbah kemasan Royco, tas yang berukuran lebih kecil dari limbah kemasan plastik sabun Lux, kotak tempat sampah berwarna ungu dari limbah kemasan pewangi pakaian, tas belanja berwarna hijau, dibuat dari bekas kemasan cairan pembersih lantai, payung colorful kolase dari limbah kemasan berbagai produk, sampai dengan sandal biru muda yang catchy bertuliskan Molto!
Berdasarkan riset yang dilakukan di Surabaya pada tahun 2006, mengenai sampah post-consumer, hasilnya adalah sampah plastik yang dihasilkan di Surabaya sebanyak 96.000 ton/ per tahunnya, sekitar 10% dari total penghasilan sampah secara umum. Dari hasil ini, sekitar 4.000 ton/ per tahun ( sekitar 4 persen dari total sampah plastik) adalah sampah plastik dari packaging Unilever dan 45 persennya adalah plastik berlapis. Karena itulah kemudian UPF mengadakan Program Daur Ulang Sampah Plastik ini, untuk mengurangi pengaruh sampah plastik Unilever bagi lingkungan dan mengubah sampah multilayer yang harganya sangat murah itu (sekilo Rp 500) menjadi punya nilai.
Sejauh ini, usaha industri daur ulang biasanya menerima sampah plastik dari pengepul dan menolak kemasan langsung dari pabrik-pabrik. Sampah plastik jenis ini kemudian diubah menjadi pellet plastik yang dapat diubah lagi menjadi produk plastik daur ulang lain seperti mainan anak, vas, tali tambang dsb. Namun untuk plastik berlapis (multilayered plastic) teknologi pengolahannya belum banyak dikembangkan karena lebih rumit dan tidak memiliki keuntungan ekonomi yang viable. Dalam proses mengubah limbah kemasan plastik menjadi barang kerajinan, yang cukup sulit sebenarnya proses menjahit. Sebab, multilayer tersebut licin dan juga keras. Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menguasai cara menjahit dan menghasilkan produk yang rapi.
Sampah plastik itu sebelumnya telah dipilah warga. Warga tidak mengirimkan sampah tersebut ke bank sampah melainkan ke rumah produksi Trashion.
Setelah dicuci dan dibersihkan, plastik-plastik ini kemudian dikeringkan dengan cara dijemur, yang dapat makan waktu sampai satu hari. Setelah kering, proses selanjutnya adalah pemotongan plastik. Ukuran potongan ditetapkan selebar 5 centimeter untuk memudahkan proses penjahitan. Setelahnya, potongan-potongan ini dipisahkan menurut gambar yang ada di kemasan. Tahap terakhir adalah menyatukan potongan-potongan tersebut dengan cara dijahit sesuai pola.
Animo warga terhadap produk daur ulang sampah plastik ini tinggi. Terbukti dari lakunya produk ini saat dipasarkan di pasar modern. Saat produk ini diikutkan dalam bazar yang diselenggarakan di Parkir Timur Senayan Jakarta, dalam tiga hari laku sampai mencapai omzet Rp 32 juta. Sampah ternyata tidak hanya dapat merepotkan warga. Di tangan yang tepat, sampah dapat menghasilkan uang.
IBU KASMI memang makhluk yang amat langka. Betapa tidak? Limbah sampah dari bekas bungkus kemasan kopi bubuk, bekas pasta gigi (odol) dan bekas tas plastik (tas kresek) bisa dia ’sulap’ menjadi produk kerajinan tas berkualitas ekspor!
Dari limbah bekas bungkusan itu, wanita sederhana yang tinggal di kawasan Pisangan Barat Ciputat itu bisa menembus pasar ekspor hingga Amerika, Dubai (Uni Emirat Arab), Australia dan Singapura. Nilai ekspornya pun nggak main-main.
Omzet penjualan perbulan dari ekspor tas berbahan bungkusan bekas itu ke Singapura dan Dubai saja mencapai sekitar Rp 30 jutaan perbulan. Itu baru ke Singapura dan Dubai. Lantas berapa omzet ke Amerika dan Australia?
“Untuk omzet ke Amerika dan Australia, nggak usah disebutin angkanya deh. Malu!” kata Ibu Kasmi, seperti dilansir buku “10 Pengusaha UKM Penggugah Inspirasi” karya Agung Budi Santoso, dkk. Selain ke luar negeri, omzet jutaan rupiah juga tercetak dari penjualan di dalam negeri. Ibu Kasmi tak menjual tas-tas produknya di sembarang tempat.
Di dalam negeri, tas-tasnya ‘mejeng’ di etalase-etalase bergengsi antara lain Hero Supermarket, etalase kerajinan tangan di Hotel Kristal Jakarta, serta 15 toko-toko dan supermarket terkemuka lainnya di Jakarta dan sekitarnya.
Suksesnya menjadi wirausahawan unik dengan memanfaatkan limbah bekas bungkusan itu sampai menarik perhatian Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Para istri dubes dan staf-stafnya sampai penasaran, hingga bertandang ke rumahnya yang berlokasi tak jauh dari gedung Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang. Entah sudah berapa penghargaan dia terima dari berbagai departemen dan instansi pemerintahan lantaran usahanya yang mendatangkan inspirasi namun juga ramah lingkungan.
“Sayang banget kan, kalau bungkus kopi, bungkus minyak goreng dan tas kresek yang kondisinya masih bagus itu cuma jadi tumpukan sampah? Padahal kalau dimanfaatkan bisa jadi tas-tas bagus seperti ini,” ujar Ibu Kasmi memamerkan tas-tas bikinan dia dengan label The Happy Trash Bag.
Yang menarik, usaha kerajinan tas berbahan limbah yang dikelola Ibu Kasmi tidak semata-mata berorientasi bisnis. Itu terbukti dari kalangan karyawan yang dipekerjakan, semuanya adalah siswa-siswa Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada yang tuna rungu, ada pula yang tuna wicara, sebagian lainnya adalah karyawan dari kalangan ibu-ibu rumah tangga kurang mampu yang tinggal di sekitar rumahnya. “Misi usaha saya semenjak awal memang membuat mereka (siswa-siswa SLB) itu punya jiwa mandiri dengan ketrampilan yang mereka miliki,” tuturnya.
Entah sudah berapa kali, Ibu Kasmi dihubungi oleh perusahaan-perusahaan produsen bubuk kopi, pasta gigi dan minyak goreng yang menawarinya kerjasama, namun ditolaknya. Wanita gigih ini ditawari pasokan bungkus-bungkus produk-produk mereka yang benar-benar masih baru dan jelas-jelas kondisinya bersih, tapi semua itu tak membuatnya tergoda. “Bagaimana kalau Ibu Kasmi kami pasok kemasan bungkus yang masih baru dengan harga lebih murah dibanding harga pemulung?” kata Kasmi, menirukan tawaran dari perusahaan terkait.
Namun Kasmi selalu menolak secara tegas. “Saya selalu memilih membeli bungkus-bungkus bekas kemasan dari para pemulung. Biar kondisi bungkusnya agak kotor, dan harus dibersihkan dulu, nggak masalah. Ya, itu tadi, ini bukan semata-mata bisnis, tapi juga sosial,” tuturnya.
Pendek kata, usaha Kasmi memang punya misi untuk memberdayakan pemulung, anak-anak pelajar SLB dan wanita dari keluarga miskin.
Bahannya Murah Meriah, Menjelma Jadi Barang Mahal
KARYA tangan dingin Ibu Kasmi memang menakjubkan. Sebuah produk tas cantik berbahan bekas bungkus kopi bubuk bisa menembus pasar Amerika, Dubai, Singapura dan Australia dengan harga bervariasi, sesuai ukuran. Untuk tas berukuran M misalnya, dibanderol dengan harga Rp 75 ribu. Sementara yang ukuran S dijualnya seharga Rp 55 ribu. Adapun yang ukuran L diekspornya seharga Rp 85 ribu.
Tentu harga tas-tas itu lebih miring untuk pasaran dalam negeri. Produk yang sama dijualnya seharga Rp 20 ribu (ukuran S), Rp 40 ribu (M) dan Rp 50 ribu (L). Tentu tas-tas mungil itu cukup mendatangkan keuntungan menarik bila ditilik dari biaya produksinya yang murah meriah. Coba bayangkan! Ibu Kasmi membeli bahan baku dari pemulung seharga Rp 5 ribu untuk perkilogram bekas bungkus kopi.
Sementara dari tiap kilogram bahan baku dari pemulung itu bisa dijadikan 4 buah tas mungil. Itu artinya, biaya bahan baku untuk tiap tas hanya sebesar Rp 1.250. Namun masih ada biaya kecil-kecil lain sebesar Rp 5 ribu guna membeli pita dan kain tipis untuk pelapis bagian dalam, yang masing-masing tasnya berbiaya sekitar Rp 5 ribu. Singkat cerita, total biaya untuk tiap tasnya hanya Rp 6.250. Di luar biaya itu, masih ada biaya ongkos produksi, yakni gaji bulanan para karyawannya yang berjumlah enam orang. “Biaya makan siang anak-anak tentu nggak terlalu saya hitung. Wong mereka itu anak-anak (asuh) saya sendiri,” ujarnya. Biaya lainnya, tentu komponen ongkos pengiriman. Luar biasa bukan? Dari sebuah produk tas berbiaya murah meriah itu bisa menjelma menjadi produk tas kualitas ekspor seharga Rp 55 ribu – 85 ribu.
Tas Kresek Pun Ikut Mendunia!
SELAIN tas berbahan bekas bungkus kopi, Ibu Kasmi juga mengolah bekas tas plastik (ibu-ibu rumah tangga biasa menyebutnya ‘tas kresek’) menjadi produk tas mempesona. Anda tentu tak asing lagi kan, dengan tas plastik yang diberikan cuma-cuma saat berbelanja di swalayan, minimarket atau supermarket?
Barangkali tas plastik bekas berbelanja begitu menumpuk di rumah hingga terbuang-buang percuma. Namun di tangan Kasmi, lagi-lagi bisa disulap menjadi produk spektakuler! Sebuah tas berbahan bekas tas plastik dieskpornya ke luar negeri dengan banderol Rp 50 ribu pertas. Sementara untuk pasaran dalam negeri bisa terjual Rp 30 ribu per tas. “Bahan bakunya ya dari tas plastik bekas berbelanja. Artinya, saya kumpulin sendiri tas-tas plastik yang saya dapat sehabis berbelanja di mal atau swalayan. Jadi enggak beli bahan bakunya. Kalaulah beli, belinya di mana? Mana ada orang jual bekas tas plastik,” ujarnya, setengah bertanya. .
Wanita yang pernah menjadi juru masak (koki) di Kedubes Australia itu mengerjakan kerajinan tas berbahan bekas tas plastik itu dengan gaya santai. “Ngerjainnya sambil nonton teve, atau ngobrol ngalor-ngidul sama ibu-ibu tetangga,” katanya. Untuk produk tasnya yang satu ini nyaris tak berbiaya bahan baku, kecuali ikatan dari serat bambu untuk memperkuat bodi tas. “Kalau bambu, paling cuma berapa harganya. Di sekitar rumah juga banyak,” katanya. Kasmi memang tak bisa mengkalkulasi persis berapa biaya tenaga kerja. “Habis, niat saya kan justru memberdayakan tenaga kerja anak-anak (SLB) dan ibu-ibu kurang mampu,” timpalnya.
Selain berbahan limbah plastik, Kasmi juga membuat tas berbahan bekas kemasan pasta gigi (odol). Dari pemulung, dia belanja bahan baku bekas pasta gigi itu seharga Rp 5 ribu perkilogramnya. Tiap kilogram bekas kemasan odol bisa dijadikan dua tas cantik dengan permukaannya yang putih mengkilap. Memang tampak mengkilap, karena yang ditonjolkan di bagian luar adalah kemasan odol di bagian dalam yang berwarna putih perak mengkilap itu. Biaya produksi lainnya adalah pita dan kain pelapis bagian dalam tas senilai sekitar Rp 5 ribu untuk tiap tas. Dengan bahan murah meriah itu, produk tasnya yang satu ini terjual laris manis dengan banderol Rp 150 ribu.
Wanita kelahiran Solo itu memulai debut usaha uniknya itu dari iseng-iseng. Wanita berusia setengah abad itu awalnya cuma mengisi waktu ketika dia mengantarkan putrinya ke sekolah pada 1987 silam. Sembari menunggu jam pulang sekolah putrinya, Kasmi iseng-iseng merajut, eh ternyata bagus juga!
Nyaris tak ada limbah plastik yang sia-sia di tangannya, mulai dari bekas bungkus mie instan, deterjen, snack, kopi bubuk, minyak goreng, dll. Praktis, usaha sebenarnya sangat ramah lingkungan karena membantu mengurangi tingkat pencemaran, terutama polusi sampah plastik yang sulit membusuk. Kini, usaha kerajinannya yang dia namai Group of Deaf People (karena karyawannya anak-anak SLB tuna rungu) bisa memproduksi 3.000-an buah tas dan 500 boneka dalam sebulan dengan omzet puluhan juta rupiah.
Tawaran Gaji Rp 10 Juta Ditolak
ANEHNYA, semua kepintaran Kasmi memanfaatkan sampah plastik menjadi produk kerajinan cantik dan mahal itu dipelajarinya secara otodidak. Belakangan, ketrampilannya itu menarik perhatian sebuah kantor kedutaan asing di Jakarta yang beritikad merekrut dia sebagai tenaga ahli dengan gaji Rp 10 juta perbulan. Dengan gaji menggiurkan itu, Kasmi mendapat tugas untuk menularkan ilmunya itu dengan menjadi pengajar di sebuah lembaga yang dikelola kedutaan tersebut di Pondok Indah.
“Tapi tawaran itu saya tolak dengan halus. Gajinya memang sangat menggoda sih, tapi gimana dengan usaha saya, kalau saya jadi orang kantoran? Bagaimana pula nasib anak-anak SLB yang menggantungkan hidup dari usaha ini?” tanyanya. Kasmi malah membuka kursus kerajinan. Diilhami putrinya, lembaga itu memberikan prioritas kepada siswa tunarungu. Kini ratusan siswa telah menimba ilmunya tanpa ia pungut biaya satu sen pun. “Saya ingin mereka tidak dikucilkan,” kata ibu tiga anak ini.
Untuk mempromosikan produknya, Kasmi rajin mengikuti pameran, antara lain pameran di Hotel Soultan (dulu Hotel Hilton) Jakarta. Beberapa pameran eksklusif kerap diikutinya, seperti di Australian Woman Association. Selain produk tas, dia juga membuat boneka. Bahkan inovasinya sampai berbentuk dompet dan tas berbahan koran. Melihat animo pasar yang besar, ia kemudian mengganti bahan bakunya dengan kertas yang dilaminating. “Setelah itu, saya berpikir kenapa tidak dari sampah?” Belakangan, dia lantas memanfaatkan bekas bungkus mie instan. Itulah kisah wanita inovatif sekaligus penyelamat lingkungan dari pencemaran. (agung budi santoso)
Alamat kontak:
Ibu Kasmi
The Happy Trash Bag (Group of The Deaf People)
UKM pembuatan tas dan boneka berbahan bekas seperti sachet sabun, bekas kopi bubuk, kantong plastik bekas (shopping bag), bekas kemasan minyak goreng, dll oleh pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB).
Jl. SD Inpres No 79 RT 02 RW 09 Pisangan Barat Ciputat Telp (021) 749. 6784
Sebagaimana kita ketahui, selain sampah organik yang kemudian umumnya dimanfaatkan sebagai kompos, ada juga sampah non organik alias sampah yang tidak dapat hancur, di antaranya limbah kemasan plastik. UPF bersama-sama dengan para kader binaannya mencoba mereduksi limbah plastik bekas kemasan produk Unilever dengan cara mengubahnya menjadi barang-barang kerajinan daur ulang bernilai ekonomis. Di antaranya seperti tas laptop, dompet untuk telepon seluler, korden kamar mandi, tas berwarna merah dari limbah kemasan Royco, tas yang berukuran lebih kecil dari limbah kemasan plastik sabun Lux, kotak tempat sampah berwarna ungu dari limbah kemasan pewangi pakaian, tas belanja berwarna hijau, dibuat dari bekas kemasan cairan pembersih lantai, payung colorful kolase dari limbah kemasan berbagai produk, sampai dengan sandal biru muda yang catchy bertuliskan Molto!
Berdasarkan riset yang dilakukan di Surabaya pada tahun 2006, mengenai sampah post-consumer, hasilnya adalah sampah plastik yang dihasilkan di Surabaya sebanyak 96.000 ton/ per tahunnya, sekitar 10% dari total penghasilan sampah secara umum. Dari hasil ini, sekitar 4.000 ton/ per tahun ( sekitar 4 persen dari total sampah plastik) adalah sampah plastik dari packaging Unilever dan 45 persennya adalah plastik berlapis. Karena itulah kemudian UPF mengadakan Program Daur Ulang Sampah Plastik ini, untuk mengurangi pengaruh sampah plastik Unilever bagi lingkungan dan mengubah sampah multilayer yang harganya sangat murah itu (sekilo Rp 500) menjadi punya nilai.
Sejauh ini, usaha industri daur ulang biasanya menerima sampah plastik dari pengepul dan menolak kemasan langsung dari pabrik-pabrik. Sampah plastik jenis ini kemudian diubah menjadi pellet plastik yang dapat diubah lagi menjadi produk plastik daur ulang lain seperti mainan anak, vas, tali tambang dsb. Namun untuk plastik berlapis (multilayered plastic) teknologi pengolahannya belum banyak dikembangkan karena lebih rumit dan tidak memiliki keuntungan ekonomi yang viable. Dalam proses mengubah limbah kemasan plastik menjadi barang kerajinan, yang cukup sulit sebenarnya proses menjahit. Sebab, multilayer tersebut licin dan juga keras. Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menguasai cara menjahit dan menghasilkan produk yang rapi.
Sampah plastik itu sebelumnya telah dipilah warga. Warga tidak mengirimkan sampah tersebut ke bank sampah melainkan ke rumah produksi Trashion.
Quote:Sebelumnya sampah-sampah ini dicuci dengan sabun dan pemutih desinfektan. Fungsi sabun adalah melepaskan kotoran-kotoran yang menempel di kemasan, sedangkan pemutih desinfektan untuk menghilangkan kuman dan bakteri selama lebih kurang 30 menit. Jadi plastik-plastik ini benar-benar steril dan hygienis.
Setelah dicuci dan dibersihkan, plastik-plastik ini kemudian dikeringkan dengan cara dijemur, yang dapat makan waktu sampai satu hari. Setelah kering, proses selanjutnya adalah pemotongan plastik. Ukuran potongan ditetapkan selebar 5 centimeter untuk memudahkan proses penjahitan. Setelahnya, potongan-potongan ini dipisahkan menurut gambar yang ada di kemasan. Tahap terakhir adalah menyatukan potongan-potongan tersebut dengan cara dijahit sesuai pola.
Animo warga terhadap produk daur ulang sampah plastik ini tinggi. Terbukti dari lakunya produk ini saat dipasarkan di pasar modern. Saat produk ini diikutkan dalam bazar yang diselenggarakan di Parkir Timur Senayan Jakarta, dalam tiga hari laku sampai mencapai omzet Rp 32 juta. Sampah ternyata tidak hanya dapat merepotkan warga. Di tangan yang tepat, sampah dapat menghasilkan uang.
Quote:Kasmi, Eksportir Tas dari Limbah Plastik
IBU KASMI memang makhluk yang amat langka. Betapa tidak? Limbah sampah dari bekas bungkus kemasan kopi bubuk, bekas pasta gigi (odol) dan bekas tas plastik (tas kresek) bisa dia ’sulap’ menjadi produk kerajinan tas berkualitas ekspor!
Dari limbah bekas bungkusan itu, wanita sederhana yang tinggal di kawasan Pisangan Barat Ciputat itu bisa menembus pasar ekspor hingga Amerika, Dubai (Uni Emirat Arab), Australia dan Singapura. Nilai ekspornya pun nggak main-main.
Omzet penjualan perbulan dari ekspor tas berbahan bungkusan bekas itu ke Singapura dan Dubai saja mencapai sekitar Rp 30 jutaan perbulan. Itu baru ke Singapura dan Dubai. Lantas berapa omzet ke Amerika dan Australia?
“Untuk omzet ke Amerika dan Australia, nggak usah disebutin angkanya deh. Malu!” kata Ibu Kasmi, seperti dilansir buku “10 Pengusaha UKM Penggugah Inspirasi” karya Agung Budi Santoso, dkk. Selain ke luar negeri, omzet jutaan rupiah juga tercetak dari penjualan di dalam negeri. Ibu Kasmi tak menjual tas-tas produknya di sembarang tempat.
Di dalam negeri, tas-tasnya ‘mejeng’ di etalase-etalase bergengsi antara lain Hero Supermarket, etalase kerajinan tangan di Hotel Kristal Jakarta, serta 15 toko-toko dan supermarket terkemuka lainnya di Jakarta dan sekitarnya.
Suksesnya menjadi wirausahawan unik dengan memanfaatkan limbah bekas bungkusan itu sampai menarik perhatian Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Para istri dubes dan staf-stafnya sampai penasaran, hingga bertandang ke rumahnya yang berlokasi tak jauh dari gedung Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang. Entah sudah berapa penghargaan dia terima dari berbagai departemen dan instansi pemerintahan lantaran usahanya yang mendatangkan inspirasi namun juga ramah lingkungan.
“Sayang banget kan, kalau bungkus kopi, bungkus minyak goreng dan tas kresek yang kondisinya masih bagus itu cuma jadi tumpukan sampah? Padahal kalau dimanfaatkan bisa jadi tas-tas bagus seperti ini,” ujar Ibu Kasmi memamerkan tas-tas bikinan dia dengan label The Happy Trash Bag.
Yang menarik, usaha kerajinan tas berbahan limbah yang dikelola Ibu Kasmi tidak semata-mata berorientasi bisnis. Itu terbukti dari kalangan karyawan yang dipekerjakan, semuanya adalah siswa-siswa Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada yang tuna rungu, ada pula yang tuna wicara, sebagian lainnya adalah karyawan dari kalangan ibu-ibu rumah tangga kurang mampu yang tinggal di sekitar rumahnya. “Misi usaha saya semenjak awal memang membuat mereka (siswa-siswa SLB) itu punya jiwa mandiri dengan ketrampilan yang mereka miliki,” tuturnya.
Entah sudah berapa kali, Ibu Kasmi dihubungi oleh perusahaan-perusahaan produsen bubuk kopi, pasta gigi dan minyak goreng yang menawarinya kerjasama, namun ditolaknya. Wanita gigih ini ditawari pasokan bungkus-bungkus produk-produk mereka yang benar-benar masih baru dan jelas-jelas kondisinya bersih, tapi semua itu tak membuatnya tergoda. “Bagaimana kalau Ibu Kasmi kami pasok kemasan bungkus yang masih baru dengan harga lebih murah dibanding harga pemulung?” kata Kasmi, menirukan tawaran dari perusahaan terkait.
Namun Kasmi selalu menolak secara tegas. “Saya selalu memilih membeli bungkus-bungkus bekas kemasan dari para pemulung. Biar kondisi bungkusnya agak kotor, dan harus dibersihkan dulu, nggak masalah. Ya, itu tadi, ini bukan semata-mata bisnis, tapi juga sosial,” tuturnya.
Pendek kata, usaha Kasmi memang punya misi untuk memberdayakan pemulung, anak-anak pelajar SLB dan wanita dari keluarga miskin.
Bahannya Murah Meriah, Menjelma Jadi Barang Mahal
KARYA tangan dingin Ibu Kasmi memang menakjubkan. Sebuah produk tas cantik berbahan bekas bungkus kopi bubuk bisa menembus pasar Amerika, Dubai, Singapura dan Australia dengan harga bervariasi, sesuai ukuran. Untuk tas berukuran M misalnya, dibanderol dengan harga Rp 75 ribu. Sementara yang ukuran S dijualnya seharga Rp 55 ribu. Adapun yang ukuran L diekspornya seharga Rp 85 ribu.
Tentu harga tas-tas itu lebih miring untuk pasaran dalam negeri. Produk yang sama dijualnya seharga Rp 20 ribu (ukuran S), Rp 40 ribu (M) dan Rp 50 ribu (L). Tentu tas-tas mungil itu cukup mendatangkan keuntungan menarik bila ditilik dari biaya produksinya yang murah meriah. Coba bayangkan! Ibu Kasmi membeli bahan baku dari pemulung seharga Rp 5 ribu untuk perkilogram bekas bungkus kopi.
Sementara dari tiap kilogram bahan baku dari pemulung itu bisa dijadikan 4 buah tas mungil. Itu artinya, biaya bahan baku untuk tiap tas hanya sebesar Rp 1.250. Namun masih ada biaya kecil-kecil lain sebesar Rp 5 ribu guna membeli pita dan kain tipis untuk pelapis bagian dalam, yang masing-masing tasnya berbiaya sekitar Rp 5 ribu. Singkat cerita, total biaya untuk tiap tasnya hanya Rp 6.250. Di luar biaya itu, masih ada biaya ongkos produksi, yakni gaji bulanan para karyawannya yang berjumlah enam orang. “Biaya makan siang anak-anak tentu nggak terlalu saya hitung. Wong mereka itu anak-anak (asuh) saya sendiri,” ujarnya. Biaya lainnya, tentu komponen ongkos pengiriman. Luar biasa bukan? Dari sebuah produk tas berbiaya murah meriah itu bisa menjelma menjadi produk tas kualitas ekspor seharga Rp 55 ribu – 85 ribu.
Tas Kresek Pun Ikut Mendunia!
SELAIN tas berbahan bekas bungkus kopi, Ibu Kasmi juga mengolah bekas tas plastik (ibu-ibu rumah tangga biasa menyebutnya ‘tas kresek’) menjadi produk tas mempesona. Anda tentu tak asing lagi kan, dengan tas plastik yang diberikan cuma-cuma saat berbelanja di swalayan, minimarket atau supermarket?
Barangkali tas plastik bekas berbelanja begitu menumpuk di rumah hingga terbuang-buang percuma. Namun di tangan Kasmi, lagi-lagi bisa disulap menjadi produk spektakuler! Sebuah tas berbahan bekas tas plastik dieskpornya ke luar negeri dengan banderol Rp 50 ribu pertas. Sementara untuk pasaran dalam negeri bisa terjual Rp 30 ribu per tas. “Bahan bakunya ya dari tas plastik bekas berbelanja. Artinya, saya kumpulin sendiri tas-tas plastik yang saya dapat sehabis berbelanja di mal atau swalayan. Jadi enggak beli bahan bakunya. Kalaulah beli, belinya di mana? Mana ada orang jual bekas tas plastik,” ujarnya, setengah bertanya. .
Wanita yang pernah menjadi juru masak (koki) di Kedubes Australia itu mengerjakan kerajinan tas berbahan bekas tas plastik itu dengan gaya santai. “Ngerjainnya sambil nonton teve, atau ngobrol ngalor-ngidul sama ibu-ibu tetangga,” katanya. Untuk produk tasnya yang satu ini nyaris tak berbiaya bahan baku, kecuali ikatan dari serat bambu untuk memperkuat bodi tas. “Kalau bambu, paling cuma berapa harganya. Di sekitar rumah juga banyak,” katanya. Kasmi memang tak bisa mengkalkulasi persis berapa biaya tenaga kerja. “Habis, niat saya kan justru memberdayakan tenaga kerja anak-anak (SLB) dan ibu-ibu kurang mampu,” timpalnya.
Selain berbahan limbah plastik, Kasmi juga membuat tas berbahan bekas kemasan pasta gigi (odol). Dari pemulung, dia belanja bahan baku bekas pasta gigi itu seharga Rp 5 ribu perkilogramnya. Tiap kilogram bekas kemasan odol bisa dijadikan dua tas cantik dengan permukaannya yang putih mengkilap. Memang tampak mengkilap, karena yang ditonjolkan di bagian luar adalah kemasan odol di bagian dalam yang berwarna putih perak mengkilap itu. Biaya produksi lainnya adalah pita dan kain pelapis bagian dalam tas senilai sekitar Rp 5 ribu untuk tiap tas. Dengan bahan murah meriah itu, produk tasnya yang satu ini terjual laris manis dengan banderol Rp 150 ribu.
Wanita kelahiran Solo itu memulai debut usaha uniknya itu dari iseng-iseng. Wanita berusia setengah abad itu awalnya cuma mengisi waktu ketika dia mengantarkan putrinya ke sekolah pada 1987 silam. Sembari menunggu jam pulang sekolah putrinya, Kasmi iseng-iseng merajut, eh ternyata bagus juga!
Nyaris tak ada limbah plastik yang sia-sia di tangannya, mulai dari bekas bungkus mie instan, deterjen, snack, kopi bubuk, minyak goreng, dll. Praktis, usaha sebenarnya sangat ramah lingkungan karena membantu mengurangi tingkat pencemaran, terutama polusi sampah plastik yang sulit membusuk. Kini, usaha kerajinannya yang dia namai Group of Deaf People (karena karyawannya anak-anak SLB tuna rungu) bisa memproduksi 3.000-an buah tas dan 500 boneka dalam sebulan dengan omzet puluhan juta rupiah.
Tawaran Gaji Rp 10 Juta Ditolak
ANEHNYA, semua kepintaran Kasmi memanfaatkan sampah plastik menjadi produk kerajinan cantik dan mahal itu dipelajarinya secara otodidak. Belakangan, ketrampilannya itu menarik perhatian sebuah kantor kedutaan asing di Jakarta yang beritikad merekrut dia sebagai tenaga ahli dengan gaji Rp 10 juta perbulan. Dengan gaji menggiurkan itu, Kasmi mendapat tugas untuk menularkan ilmunya itu dengan menjadi pengajar di sebuah lembaga yang dikelola kedutaan tersebut di Pondok Indah.
“Tapi tawaran itu saya tolak dengan halus. Gajinya memang sangat menggoda sih, tapi gimana dengan usaha saya, kalau saya jadi orang kantoran? Bagaimana pula nasib anak-anak SLB yang menggantungkan hidup dari usaha ini?” tanyanya. Kasmi malah membuka kursus kerajinan. Diilhami putrinya, lembaga itu memberikan prioritas kepada siswa tunarungu. Kini ratusan siswa telah menimba ilmunya tanpa ia pungut biaya satu sen pun. “Saya ingin mereka tidak dikucilkan,” kata ibu tiga anak ini.
Untuk mempromosikan produknya, Kasmi rajin mengikuti pameran, antara lain pameran di Hotel Soultan (dulu Hotel Hilton) Jakarta. Beberapa pameran eksklusif kerap diikutinya, seperti di Australian Woman Association. Selain produk tas, dia juga membuat boneka. Bahkan inovasinya sampai berbentuk dompet dan tas berbahan koran. Melihat animo pasar yang besar, ia kemudian mengganti bahan bakunya dengan kertas yang dilaminating. “Setelah itu, saya berpikir kenapa tidak dari sampah?” Belakangan, dia lantas memanfaatkan bekas bungkus mie instan. Itulah kisah wanita inovatif sekaligus penyelamat lingkungan dari pencemaran. (agung budi santoso)
Alamat kontak:
Ibu Kasmi
The Happy Trash Bag (Group of The Deaf People)
UKM pembuatan tas dan boneka berbahan bekas seperti sachet sabun, bekas kopi bubuk, kantong plastik bekas (shopping bag), bekas kemasan minyak goreng, dll oleh pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB).
Jl. SD Inpres No 79 RT 02 RW 09 Pisangan Barat Ciputat Telp (021) 749. 6784